I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara
kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau mencapai kurang lebih 17.500
buah dan dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati
terbesar. Sebagai negara kepulauan, tidaklah mengherankan jika lebih kurang dua
pertiga dari teritorial negara kesatuan yang berbentuk republik ini merupakan
perairan, dengan luas lebih kurang 5,8 juta km2. Selain itu,
Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki garis pantai
terpanjang di dunia setelah Kanada yang mencapai lebih kurang 81.000 km.
Desa
pesisir merupakan entitas sosial,ekonomi, ekologi dan budaya, yang menjadi
batas antara daratan dan lautan, di mana di dalamnya terdapat suatu kumpulan
manusia yang memiliki pola hidup dan tingkah laku serta karakteristik tertentu.
Masyarakat pesisir itu sendiri merupakan sekumpulan masyarakat yang hidup
bersama-sama yang mendiami suatu wilayah pesisir, membentuk dan memiliki
kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan
sumber daya pesisir dan laut. Tentu masyarakat pesisir tidak hanya nelayan,
melainkan juga pembudidaya ikan, pengolah ikan bahkan pedagang ikan.
Nelayan
adalah istilah bagi orang-orang yang sehari-harinya bekerja menangkap ikan atau biota lainnya yang
hidup di dasar, kolom maupun permukaan perairan.
Perairan yang menjadi daerah aktivitas nelayan ini dapat merupakan perairan tawar, payau maupun laut. Di negara-negara berkembang seperti di
Asia Tenggara atau di Afrika, masih banyak nelayan yang menggunakan
peralatan yang sederhana dalam menangkap ikan. Nelayan di negara-negara maju
biasanya menggunakan peralatan modern dan kapal yang besar yang dilengkapi teknologi
canggih.
Nelayan
adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam
perstatistikan perikanan perairan umum, nelayan adalah orang yang secara aktif
melakukan operasi penangkapan ikan di perairan umum. Orang yang melakukan
pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat penangkapan ikan ke
dalam perahu atau kapal motor, mengangkut ikan dari perahu atau kapal motor,
tidak dikategorikan sebagai nelayan (Departemen Kelautan dan
Perikanan,2002)
Nelayan
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan dan
nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat
tangkap milik orang lain. Sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang
memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Sedangkan nelayan
perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya
tidak melibatkan orang lain (Subri, 2005)
Sumberdaya nelayan
dicirikan oleh pendidikan dan keterampilan yang rendah, kemampuan manajemen
yang terbatas. Taraf hidup penduduk desa pantai yang sebagian besar nelayan
sampai saat ini masih rendah, pendapatan tidak menentu (sangat tergantung pada
musim ikan), kebanyakan masih memakai peralatan tradisional dan masih sukar
menjauhkan diri dari prilaku boros (Sitorus, 1994).
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apa yang di
maksud dengan Pesisir?
2. Konsep ekonomi
pesisir!
3. Bagaimanakah
karakterisitik masyarakat pesisir?
4. Apa yang di
maksud dengan nelayan?
5. Dinamika
pendapatan nelayan!
6. Masalah apa saja
yang di hadapi nelayan saat ini?
7. Strategi apa
saja yang di gunakan untuk menghadapi masalah yang di hadapi nelayan?
8. Bagaimanakah
peran pemerintah dalam menangani masalah yang di hadapi nelayan saat ini?
C.
Tujuan Penulisan
Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian
pesisir, konsep ekonomi pesisir, karakteristik masyarakat pesisir, pengertian
nelayan, dinamika pendapatan nelayan, masalah yang di hadapi nelayan saat ini,
strategi yang di gunakan untuk menghadapi masalah nelayan saat ini, dan
mengetahui peran pemerintah dalam menangani masalah yang di hadapi nelayan saat
ini.
II.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pesisir
kawasan pesisir adalah: “wilayah daratan dan wilayah laut
yang bertemu di garis pantai dimana wilayah daratan mencakup daerah yang
tergenang atau tidak tergenang air yang dipengaruhi oleh proses-proses laut
seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air laut. Sedangkan wilayah laut
mencakup perairan yang dipengaruhi oleh proses-proses alami daratan seperti
sedimentasi dan aliran air tawar ke laut serta perairan yang dipengaruhi oleh
kegiatan manusia di darat” (Bengen, 2000:3).
Sedangkan menurut Naskah Akademik
Pengelolaan Wilayah Pesisir (2001), pengertian dari kawasan pesisir
adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah
berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakteristik fisik, biologi, sosial,
dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
Kay
dan Alder menyatakan bahwa terdapat empat cara buat menetapkan kawasan pesisir:
1.
Fixed Distance Definitions
Penentuan
kawasan pesisir dihitung dari batas antara daratan dan air laut, biasanya
penghitungan dilakukan dari batas teritorial pemerintahan. Contoh, dihitung
dari batas teritorial laut.
2. Variable Distance Definitions
Penentuan batas kawasan pesisir ditetapkan berdasarkan
beberapa perhitungan/ukuran yang ada di kawasan pesisir, seperti diukur dari
batas air tertinggi. Namun, batas kawasan tidak ditetapkan secara pasti, tetapi
juga tergantung pada variabel-variabel tertentu yang ada di kawasan tersebut,
antara lain konstruksi tapal batas, tanda-tanda alam baik berupa fisik maupun
biologis, dan batas administratif.
3. Definitions according to Use
Penetapan kawasan pesisir ditetapkan berdasarkan definisi
apa yang akan dipakai. Kadang-kadang suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan
pesisir berdasarkan masalah/isu apa yang hendak dipecahkan. Cara ini biasanya
dilakukan oleh negara besar atau lembaga internasional tertentu.
4. Hybrid Definitions
Teknik
ini mengadopsi lebih dari satu definisi atau mencanpurkan lebih dari dua tipe
definisi dari kawasan pesisir. Konsep ini umum dipergunakan oleh pemerintahan.
Contoh, pada Pemerintah Australia dan Amerika Serikat. Beberapa negara bagian
di Australia mengukur kawasan pesisirnya 3 mil dari garis pantai, sedangkan
beberapa negara bagian lainnya menetapkan kawasan pesisirnya termasuk kawasan
yang berada di darat.
B.
Ekonomi
Pesisir
Istilah ekonomi biru pertama kali
diperkenalkan pada tahun 2010 oleh Gunter Pauli melalui bukunya yang berjudul The
Blue Economy: 10 years – 100
innovations – 100
million jobs. Ekonomi biru menerapkan logika
ekosistem, yaitu ekosistem selalu bekerja menuju tingkat efisiensi lebih tinggi
untuk mengalirkan nutrien dan energi tanpa limbah untuk memenuhi kebutuhan
dasar bagi semua kontributor dalam suatu sistem. Selanjutnya, ekonomi biru
menitikberatkan pada inovasi dan kreativitas yang meliputi variasi produk,
efisiensi sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber daya.
Ekonomi
biru kemudian berkembang dan sering dikaitkan dengan pengembangan daerah
pesisir.Konsep ekonomi biru sejalan dengan konsep konomi hijau yang ramah lingkungan dan
difokuskan pada negara-negara berkembang dengan wilayah perairan (laut), yang
biasa dikenal dengan Small Island Development States (SIDS).
Ekonomi biru dalam hal ini ditujukan untuk mengatasi kelaparan, mengurangi kemiskinan,
menciptakan kehidupan laut yang berkelanjutan, mengurangi risiko bencana di
daerah pesisir, dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Implementasi
ekonomi biru secara global dianggap krusial mengingat 72 persen dari
totalpermukaan bumi merupakan lautan. Disamping itu, laut berfungsi sebagai
salah satu sumber penyedia makanan dan pengatur iklim dan suhu bumi sehingga
kelestariannya perlu dijaga.
C.
Karakteristik
masyarakat pesisir
1. Penduduk
dan Masa Pencaharian
Masyarakat pesisir pada
umumnya sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di sektor pemanfaatan
sumberdaya kelautan.
2. Pola
pemukiman dan kehidupan Sehari – hari
Berdasarkan kondisi
fisiknya, rumah di pesisir di bagi dalam tiga kategori .
1. Rumah
permanen ( memenuhi syarat kesehatan )
2. Rumah
semi permanen ( cukup memenuhi syarat kesehatan )
3. Rumah
non permanen ( kurang atau tidak memenuhi syarat kesehatan )
3. sistem
Kekerabatan
Hubungan
– hubungan sosial antar kerabat dalam masyarakat pesisir masih cukup kuat,
perbedaan status sosial ekonomi yang mencolok antar kerabat tidak dapat menjadi
penghalang terciptanya hubungan sosial yang akrab di antara mereka.
4. Ekonomi
lokal
Sumber daya laut adalah
potensi utama yang mengerakan kegiatan perekonomian desa.Secara umum kegiatan
perekonomian tinggi rendahnya produktifitas perikanan. Jika produktifitas
tinggi, tingkat penghasilan Nelayan akan meningkat sehingga daya beli
masyarakat yang semakin besar nelayan
juga akan meningkat.jika produktifitas rendah tingkat penghasilannyanelayan
akan menurun sehingga tingkat daya beli masyarakat rendah. Kondisi demikian
sangat mempengaruhi kuat lemahnya kegiatan perekonomian desa.
D.
Pengertian
Nelayan
Nelayan
adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam perstatistikan
perikanan perairan umum, nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan
operasi penangkapan ikan di perairan umum. Orang yang melakukan pekerjaan
seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat
penangkapan ikan ke dalam perahu atau kapal motor,
mengangkut ikan dari perahu atau kapal motor, tidak dikategorikan sebagai nelayan (Departemen Kelautan dan Perikanan,2002)
Nelayan
dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan
buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan
yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya nelayan juragan
adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain.
Sedangkan nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap
sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain (Subri, 2005)
Sumber daya nelayan dicirikan oleh
pendidikan dan keterampilan yang rendah, kemampuan manajemen yang terbatas.
Taraf hidup penduduk desa pantai yang sebagian besar nelayan sampai saat ini
masih rendah, pendapatan tidak menentu (sangat tergantung pada musim ikan),
kebanyakan masih memakai peralatan tradisional dan masih sukar menjauhkan diri
dari prilaku boros (Sitorus, 1994).
E.
Dinamika
Pendapatan Nelayan
Pada paruh ke
dua abad 20 ekonomi kelautan Indonesia selain menjadi sumber pendapatan
masyarakat Indonesia, tetapi juga sebagai penggerak perekonomian. Bahkan pada
masa revolusi pemerintah mulai mendirikan departemen khusus di bidang kelautan
dan perikanan. Sampai pada paruh abad 20 sektor perikanan Indonesia
menjadi salah satu faktor primer terpenting nomor dua setelah sektor pertanian.
Pada masa-masa ini perekonomian nelayan meningkat pesat, yang semula hanya
nelayan pandega (anak buah kapal) yang tidak memiliki kapal menjadi nahkoda.
Bahkan ada sebutan juragan darat yaitu nelayan yang mempunyai kapal tetapi
tidak ikut melaut. Pada masa ini jumlah technoware (sarana-prasarana) dan
humanware (keahlian) meningkat.
Perkembangan technoware dan humanware
menyebabkan timbulnya ekonomi sewa yang menyebabkan adanya penarikan pajak oleh
pemerintah kolonial. Dalam hal ini penyewa (pachter) berhak menerima
pajak dari pemukiman nelayan dan hak istimewa pembelian garam dengan harga
murah. Dalam sistem ekonomi sewa di sektor perikanan, seegala macam aspek
investasi, eksploitasi penangkapan ikan, atau pemasaran saling menunjang. Masa
ini disebut infoware (informasi) dan orgaware (metode).
Peran pachter sangat dominan, mereka mulai
mengembangkan usaha dengan melakukan penyaluran alat-alat produksi ke nelayan.
Hal inilah yang menyebabkan bertambahnya jumlah nelayan dan perahu. Pada masa
ini diketahui bahwa perkembangan iptek dapat mempengaruhi tingkat kemajuan dan
kemakmuran.
Deindrustrialisasi sektor penangkapan ikan terjadi pada akhir abad 19
dan awal abad 20 yang ditandai dengan menurunnya pendapatan, dan pergeseran
usaha penangkapan ikan berskala besar di lepas pantai menjadi penangkapan ikan
berskala kecil. Akibatnya penangkapan ikan menjadi sederhana yang bersifat
artisenal (tradisional), serta usaha kecil. Bahkan jumlah perahu, nelayan,
investasi, dan jaringan ekonomi nelayan mengalami kemerosotan, jumlah
pendapatan nelayan pun menurun. Penyebab lainnya karena tidak berperannya
institusi sewa yang diganti dengan sistem pajak kepala, yang menyebabkan ivestasi
terhenti.
Industri pengolahan atau pengawetan iklan
runtuh disebabkan tidak adanya garam subsidi. Industri pengolahan ikan pun
sulit ditemui dan distribusi ikan ke pedalaman terhenti akibat terbatasnya
transportasi. Keadaan ini terus berlangsung sampai saat ini, tidak heran jika
masyarakat nelayan diidentikkan dengan masyarakat yang miskin jika di
bandingkan dengan kelompok lainnya. Dengan kata lain struktur sosial-ekonomi
yang terbentuk akibat deindrustrialisasi menciptakan kondisi tidak semua nelayan
dapat memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang tersedia bagi mereka.
Modernisasi pada sektor penangkapan ikan pun
dilakukan oleh pemerintah Hindia dengan menggunakan motor, namun hal ini
berjalan lambat. Adanya investasi asing (joint venture) mengakibatkan
peningkatan usaha penangkapan ikan berskala besar. Akibat kebijakan pembangunan
sektor perikanan untuk peningkatan hasil produksi yang melalui pengembangan
teknologi baru, terbentuklah sektor perikanan dualistik. Namun hal ini tidak
mempengaruhi peningkatan perekonomian nelayan kecil. Dengan kata lain
globalisasi tidak menguntungkan bagi nelayan miskin. Kebijakan pemerintah yang
mempromosikan pengembangan penangkapan ikan berskala besar yang membuta
termarjinalkannya usaha penangkapan ikan berskala kecil.
Adanya kebijakan open acces theory yang merujuk bahwa laut
milik bersama mengakibatkan eksploitasi yang tidak terkontrol, yang berakibat
pada kehancuran kondisi biologis, ekologis, ekonomis, dan konflik-konflik.
Berdasarkan hal tersebut diterapkan kebijakan controlled acces
regulation, yang pertama yakni pembatasan jumlah perahu, jumlah dan jenis
kapal, dan jenis alat tangkap. Yang kedua, pembatasan jumlah tangkapan dari
tiap perahu berdasarkan kuota. Selain itu ada juga penerapan UUD 1945 Pasal 33
Ayat 3 yang mengatur secara tegas dasar kontrol terhadap tanah, air, dan
sumber-sumber mineral. Ada juga pembatasan penggunaan trawl, namun kurang
efektif. Terakhir pada pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid dinentuklah
Departemen Kelautan dan Perikanan yang tugasnya mengutamakan pengembangan atau
peningkatan sektor peikanan dan juga pemanfaatan yang berkelanjutan terhadap
sumber-sumber kelautan.
F.
Masalah
yang di hadapi Nelayan Saat ini
Banyak faktor yang menyebabkan mayoritas
nelayan di Indonesia masih terlilit derita kemiskinan. Sejumlah faktor
itu dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) faktor teknis, (2) faktor kultural,
dan (3) faktor struktural.
Dalam tataran praktis, nelayan miskin karena
pendapatan (income) nya lebih kecil dari pada pengeluaran untuk mencukupi
kebutuhan hidup keluarga dan diri nya dalam kurun waktu tertentu. Sejauh
ini pendapatan nelayan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan ABK dari
kapal ikan komersial/modern (diatas 30 GT), pada umumnya kecil (kurang dari Rp
1 juta/bulan) dan sangat fluktuatif alias tidak menentu.
Secara teknis, pendapatan nelayan bergantung
pada nilai jual ikan hasil tangkap dan ongkos (biaya) melaut.
Selanjutnya, nilai jual ikan hasil tangkapan ditentukan oleh ketersediaan stok
ikan di laut, efisiensi tekonologi penangkapan ikan, dan harga jual ikan.
Sedangkan, biaya melaut bergantung pada kuantitas dan harga dari BBM,
perbekalan serta logistik yang dibutuhkan untuk melaut yang bergantung pula
pada ukuran (berat) kapal dan jumlah awak kapal ikan. Selain itu, nilai
investasi kapal ikan, alat penangkapan, dan peralatan pendukungnya sudah tentu
harus dimasukkan kedalam perhitungan biaya melaut. Berdasarkan pada
sejumlah variables yang mempengaruhi pendapatan nelayan tersebut,
sedikitnya ada sembilam permasalahan teknis yang membuat sebagian besar nelayan
masih miskin.
1.
banyak nelayan yang kini melakukan
usaha penangkapan ikan di wilayah-wilayah perairan laut yang stok SDI (sumber
daya ikan) nya mengalami overfishing (tangkap lebih).
2.
pencemaran laut, perusakan ekosistem pesisir
(seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari) yang semakin
dahsyat, dan perubahan iklim global ditenggarai menurunkan stok (populasi) SDI.
3.
sebagian besar nelayan menangani (handling)
ikan hasil tangkapan selama di kapal sampai di tempat pendaratan ikan
(pelabuhan perikanan) belum mengikuti cara-cara penanganan yang baik (Best
Handling Practices). Akibatnya, mutu ikan begitu sampai di tempat
pendaratan sudah menurun atau bahkan busuk, sehingga harga jualnya murah.
Hal ini disebabkan karena kebanyakan kapal ikan tidak dilengkapi dengan palkah
pendingin atau wadah (container) yang diberi es untuk menyimpan ikan
agar tetap segar.
4.
hampir semua nelayan tradisional
mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pemukiman nelayan, tempat pendaratan
ikan (TPI), atau pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang tidak dilengkapi dengan
pabrik es atau cold storage dan tidak memenuhi persyaratan standar
sanitasi dan higienis. Sehingga, semakin memperburuk mutu ikan yang berimplikasi
terhadap harga jual ikan
5.
masa paceklik dan kondisi laut
sedang berombak besar atau angin kencang (badai), antara 2 sampai 4 bulan dalam
setahun, nelayan tidak bisa melaut untuk menangkap ikan. Bagi nelayan dan
anggota keluarganya yang tidak memiliki usaha lain, saat-saat paceklik seperti
ini praktis tidak ada income, sehingga mereka terpaksa pinjam uang
dari para rentenir yang biasanya mematok bunga yang luar biasa tinggi,
rata-rata 5 persen per bulan. Di sinilah, awal nelayan mulai terjebak dalam
‘lingkaran setan kemiskinan’, karena pendapatan yang ia peroleh di
musim banyak ikan, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari juga
dikeluarkan untuk bayar utang sekaligus bunganya.
6.
pada musim paceklik, harga jual
ikan di lokasi pendaratan ikan biasanya tinggi (mahal), tetapi begitu musim
ikan (peak season) tiba, harga jual mendadak turun drastis.
Lebih dari itu, nelayan pada umumnya menjual ikan kepada padagang perantara (middle-man),
tidak bisa langsung kepada konsumen terakhir. Sehingga, harga jual ikan
yang mereka peroleh jauh lebih murah dari pada harga ikan yang sama di tangan
konsumen terakhir. Padahal, jumlah pedagang perantara itu umumnya lebih
dari dua tingkatan.
7.
kebanyakan nelayan membeli jaring,
alat tangkap lain, BBM, beras, dan bahan perbekalan lainnya untuk melaut juga
dari pedagang perantara yang jumlahnya bisa lebih dari dua tingkatan, tidak
langsung dari pabrik atau produsen pertama. Sehingga, nelayan membeli
semua sarana produksi perikanan tersebut dengan harga yang lebih mahal
ketimbang harga sebenarnya di tingkat pabrik. Kondisi ini tentu membuat
biaya melaut lebih besar dari pada yang semestinya.
8.
harga BBM dan sarana produksi
untuk melaut lainnya terus naik, sementara harga jual ikan relatif sama dari
tahun ke tahun, atau kalaupun naik relatif lamban. Hal ini tentu dapat
mengurangi pendapatan nelayan.
9.
sistem bagi hasil antara pemilik
kapal ikan, nahkoda kapal, fishing master, dan ABK ditenggarai jauh lebih
menguntungkan pemilik kapal. Dan, yang paling dirugikan adalah ABK.
Karena itu, pada umumnya pemilik kapal modern (diatas 30 GT) beserta nahkoda
kapal dan fishing master sudah sejahtera, bahkan kaya. Sementara, ABK nya
masih banyak yang miskin.
G.
Strategi
untuk Menghadapi Masalah Para Nelayan
Peran Beranjak
dari anatomi permasalahan kemiskinan nelayan di atas, maka kebijakan, strategi,
dan program untuk memerangi kemiskinan nelayan dan sekaligus
mensejahterahkannya haruslah bersifat komprehensif, terpadu, dan sistemik serta
dikerjakan secara berkesinambungan. Tidak bisa dilakukan dengan
pendekatan proyek seperti yang kini dilakukan, dengan membagi-bagi kapal ikan
kepada nelayan, tanpa mempersiapkan kapasitas mereka, dan tanpa memperhatikan
keseimbangan antara ketersediaan stok ikan dan upaya tangkap. Cara-cara semacam ini hanya membuat mental
nelayan rusak, yakni membuat mereka manja dan hanya mau menjadi ‘tangan di
bawah’, bukan ‘tangan di atas’. Faktanya, sekarang banyak
kapal bantuan itu tidak bisa dimanfaatkan oleh nelayan secara optimal. Salah
sasaran, karena si penerima biasanya konstituen dari partai si pemberi bantuan.
Oleh
karena itu, mulai sekarang kita perlu menerapkan grand design
manajemen pembangunan perikanan tangkap yang tepat, benar dan
berkelanjutan. Sehingga, ia mampu menjaga kelestarian stok SDI,
meningkatkan kesejahteraan nelayan, dan meningkatkan kontribusi sub-sektor
perikanan tangkap bagi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa secara
berkelanjutan.
Untuk pertama yang harus dilakukan adalah
menata ulang dan memastikan, bahwa jumlah upaya tangkap dan laju penangkapan di
suatu wilayah perairan laut (WPP, wilayah laut yang menjadi kewenangan
pengelolaan pemerintah kabupaten/kota atau provinsi) tidak boleh melebihi 80%
MSY SDI. Atau, untuk wilayah-wilayah yang padat penduduk dan tinggi angka
penganggurannya, bisa sampai sama dengan MSY SDI.
III.
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
kawasan pesisir adalah: “wilayah
daratan dan wilayah laut yang bertemu di garis pantai dimana wilayah daratan
mencakup daerah yang tergenang atau tidak tergenang air yang dipengaruhi oleh
proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air laut.
Sedangkan wilayah laut mencakup perairan yang dipengaruhi oleh proses-proses
alami daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar ke laut serta perairan
yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia di darat” (Bengen, 2000:3).
Efisiensi
sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber daya. Istilah ekonomi
biru pertama kali diperkenalkan pada tahun 2010 oleh Gunter Pauli melalui
bukunya yang berjudul The Blue Economy: 10 years – 100 innovations – 100 million jobs.
Ekonomi biru menerapkan logika ekosistem, yaitu ekosistem selalu bekerja menuju
tingkat efisiensi lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien dan energi tanpa
limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua kontributor dalam suatu
sistem. Selanjutnya, ekonomi biru menitikberatkan pada inovasi dan kreativitas
yang meliputi variasi produk
B.
SARAN
perlu menerapkan grand design manajemen
pembangunan perikanan tangkap yang tepat, benar dan berkelanjutan.
Sehingga, nelayan mampu menjaga kelestarian stok SDI,
meningkatkan kesejahteraan nelayan, dan meningkatkan kontribusi sub-sektor
perikanan tangkap bagi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa secara
berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar