Rabu, 13 Mei 2015

ekonomi pesisir dan dinamika pendapatan nelayan


I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau mencapai kurang lebih 17.500 buah dan dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati terbesar. Sebagai negara kepulauan, tidaklah mengherankan jika lebih kurang dua pertiga dari teritorial negara kesatuan yang berbentuk republik ini merupakan perairan, dengan luas lebih kurang 5,8 juta km2. Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah Kanada yang mencapai lebih kurang 81.000 km.
Desa pesisir merupakan entitas sosial,ekonomi, ekologi dan budaya, yang menjadi batas antara daratan dan lautan, di mana di dalamnya terdapat suatu kumpulan manusia yang memiliki pola hidup dan tingkah laku serta karakteristik tertentu. Masyarakat pesisir itu sendiri merupakan sekumpulan masyarakat yang hidup bersama-sama yang mendiami suatu wilayah pesisir, membentuk dan memiliki kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut. Tentu masyarakat pesisir tidak hanya nelayan, melainkan juga pembudidaya ikan, pengolah ikan bahkan pedagang ikan.
Nelayan adalah istilah bagi orang-orang yang sehari-harinya bekerja menangkap ikan atau biota lainnya yang hidup di dasar, kolom maupun permukaan perairan. Perairan yang menjadi daerah aktivitas nelayan ini dapat merupakan perairan tawar, payau maupun laut. Di negara-negara berkembang seperti di Asia Tenggara atau di Afrika, masih banyak nelayan yang menggunakan peralatan yang sederhana dalam menangkap ikan. Nelayan di negara-negara maju biasanya menggunakan peralatan modern dan kapal yang besar yang dilengkapi teknologi canggih.
Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam perstatistikan perikanan perairan umum, nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan di perairan umum. Orang yang melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat penangkapan ikan ke dalam perahu atau kapal motor, mengangkut ikan dari perahu atau kapal motor,  tidak dikategorikan sebagai nelayan (Departemen Kelautan dan Perikanan,2002)
Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Sedangkan nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain (Subri, 2005)
Sumberdaya nelayan dicirikan oleh pendidikan dan keterampilan yang rendah, kemampuan manajemen yang terbatas. Taraf hidup penduduk desa pantai yang sebagian besar nelayan sampai saat ini masih rendah, pendapatan tidak menentu (sangat tergantung pada musim ikan), kebanyakan masih memakai peralatan tradisional dan masih sukar menjauhkan diri dari prilaku boros (Sitorus, 1994). 


B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1.      Apa yang di maksud dengan Pesisir?
2.      Konsep ekonomi pesisir!
3.      Bagaimanakah karakterisitik masyarakat pesisir?
4.      Apa yang di maksud dengan nelayan?
5.      Dinamika pendapatan nelayan!
6.      Masalah apa saja yang di hadapi nelayan saat ini?
7.      Strategi apa saja yang di gunakan untuk menghadapi masalah yang di hadapi nelayan?
8.      Bagaimanakah peran pemerintah dalam menangani masalah yang di hadapi nelayan saat ini?
C.    Tujuan Penulisan
Sedangkan tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian pesisir, konsep ekonomi pesisir, karakteristik masyarakat pesisir, pengertian nelayan, dinamika pendapatan nelayan, masalah yang di hadapi nelayan saat ini, strategi yang di gunakan untuk menghadapi masalah nelayan saat ini, dan mengetahui peran pemerintah dalam menangani masalah yang di hadapi nelayan saat ini.


II.                PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pesisir
kawasan pesisir adalah: “wilayah daratan dan wilayah laut yang bertemu di garis pantai dimana wilayah daratan mencakup daerah yang tergenang atau tidak tergenang air yang dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air laut. Sedangkan wilayah laut mencakup perairan yang dipengaruhi oleh proses-proses alami daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar ke laut serta perairan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia di darat” (Bengen, 2000:3).
Sedangkan menurut Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir (2001), pengertian dari kawasan  pesisir adalah wilayah pesisir tertentu yang ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan kriteria tertentu, seperti karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya.
Kay dan Alder menyatakan bahwa terdapat empat cara buat menetapkan kawasan pesisir:
1.      Fixed Distance Definitions
Penentuan kawasan pesisir dihitung dari batas antara daratan dan air laut, biasanya penghitungan dilakukan dari batas teritorial pemerintahan. Contoh, dihitung dari batas teritorial laut.

2.      Variable Distance Definitions
Penentuan batas kawasan pesisir ditetapkan berdasarkan beberapa perhitungan/ukuran yang ada di kawasan pesisir, seperti diukur dari batas air tertinggi. Namun, batas kawasan tidak ditetapkan secara pasti, tetapi juga tergantung pada variabel-variabel tertentu yang ada di kawasan tersebut, antara lain konstruksi tapal batas, tanda-tanda alam baik berupa fisik maupun biologis, dan batas administratif.
3.      Definitions according to Use
Penetapan kawasan pesisir ditetapkan berdasarkan definisi apa yang akan dipakai. Kadang-kadang suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan pesisir berdasarkan masalah/isu apa yang hendak dipecahkan. Cara ini biasanya dilakukan oleh negara besar atau lembaga internasional tertentu.
4.      Hybrid Definitions
Teknik ini mengadopsi lebih dari satu definisi atau mencanpurkan lebih dari dua tipe definisi dari kawasan pesisir. Konsep ini umum dipergunakan oleh pemerintahan. Contoh, pada Pemerintah Australia dan Amerika Serikat. Beberapa negara bagian di Australia mengukur kawasan pesisirnya 3 mil dari garis pantai, sedangkan beberapa negara bagian lainnya menetapkan kawasan pesisirnya termasuk kawasan yang berada di darat.



B.     Ekonomi Pesisir
Istilah ekonomi biru pertama kali diperkenalkan pada tahun 2010 oleh Gunter Pauli melalui bukunya yang berjudul The Blue Economy: 10 years 100 innovations 100 million jobs. Ekonomi biru menerapkan logika ekosistem, yaitu ekosistem selalu bekerja menuju tingkat efisiensi lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien dan energi tanpa limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua kontributor dalam suatu sistem. Selanjutnya, ekonomi biru menitikberatkan pada inovasi dan kreativitas yang meliputi variasi produk, efisiensi sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber daya.
 Ekonomi biru kemudian berkembang dan sering dikaitkan dengan pengembangan daerah pesisir.Konsep ekonomi biru sejalan dengan konsep  konomi hijau yang ramah lingkungan dan difokuskan pada negara-negara berkembang dengan wilayah perairan (laut), yang biasa dikenal dengan Small Island Development States (SIDS). Ekonomi biru dalam hal ini ditujukan untuk mengatasi kelaparan, mengurangi kemiskinan, menciptakan kehidupan laut yang berkelanjutan, mengurangi risiko bencana di daerah pesisir, dan mitigasi serta adaptasi perubahan iklim. Implementasi ekonomi biru secara global dianggap krusial mengingat 72 persen dari totalpermukaan bumi merupakan lautan. Disamping itu, laut berfungsi sebagai salah satu sumber penyedia makanan dan pengatur iklim dan suhu bumi sehingga kelestariannya perlu dijaga.



C.    Karakteristik masyarakat pesisir
1.      Penduduk dan Masa Pencaharian
Masyarakat pesisir pada umumnya sebagian besar penduduknya bermatapencaharian di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan.
2.      Pola pemukiman dan kehidupan Sehari – hari
Berdasarkan kondisi fisiknya, rumah di pesisir di bagi dalam tiga kategori .
1.      Rumah permanen ( memenuhi syarat kesehatan )
2.      Rumah semi permanen ( cukup memenuhi syarat kesehatan )
3.      Rumah non permanen ( kurang atau tidak memenuhi syarat kesehatan )
3.      sistem Kekerabatan
Hubungan – hubungan sosial antar kerabat dalam masyarakat pesisir masih cukup kuat, perbedaan status sosial ekonomi yang mencolok antar kerabat tidak dapat menjadi penghalang terciptanya hubungan sosial yang akrab di antara mereka.
4.      Ekonomi lokal
Sumber daya laut adalah potensi utama yang mengerakan kegiatan perekonomian desa.Secara umum kegiatan perekonomian tinggi rendahnya produktifitas perikanan. Jika produktifitas tinggi, tingkat penghasilan Nelayan akan meningkat sehingga daya beli masyarakat yang semakin besar  nelayan juga akan meningkat.jika produktifitas rendah tingkat penghasilannyanelayan akan menurun sehingga tingkat daya beli masyarakat rendah. Kondisi demikian sangat mempengaruhi kuat lemahnya kegiatan perekonomian desa.
D.    Pengertian Nelayan
Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Dalam perstatistikan perikanan perairan umum, nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan operasi penangkapan ikan di perairan umum. Orang yang melakukan pekerjaan seperti membuat jaring, mengangkut alat-alat penangkapan ikan ke dalam perahu atau kapal motor, mengangkut ikan dari perahu atau kapal motor,  tidak dikategorikan sebagai nelayan (Departemen Kelautan dan Perikanan,2002)
Nelayan dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu nelayan buruh, nelayan juragan dan nelayan perorangan. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain. Sebaliknya nelayan juragan adalah nelayan yang memiliki alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain. Sedangkan nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki peralatan tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain (Subri, 2005)
 Sumber daya nelayan dicirikan oleh pendidikan dan keterampilan yang rendah, kemampuan manajemen yang terbatas. Taraf hidup penduduk desa pantai yang sebagian besar nelayan sampai saat ini masih rendah, pendapatan tidak menentu (sangat tergantung pada musim ikan), kebanyakan masih memakai peralatan tradisional dan masih sukar menjauhkan diri dari prilaku boros (Sitorus, 1994). 

E.     Dinamika Pendapatan Nelayan
Pada paruh ke dua abad 20 ekonomi kelautan Indonesia selain menjadi sumber pendapatan masyarakat Indonesia, tetapi juga sebagai penggerak perekonomian. Bahkan pada masa revolusi pemerintah mulai mendirikan departemen khusus di bidang kelautan dan perikanan.  Sampai pada paruh abad 20 sektor perikanan Indonesia menjadi salah satu faktor primer terpenting nomor dua setelah sektor pertanian. Pada masa-masa ini perekonomian nelayan meningkat pesat, yang semula hanya nelayan pandega (anak buah kapal) yang tidak memiliki kapal menjadi nahkoda. Bahkan ada sebutan juragan darat yaitu nelayan yang mempunyai kapal tetapi tidak ikut melaut. Pada masa ini jumlah technoware (sarana-prasarana) dan humanware (keahlian) meningkat.
Perkembangan technoware dan humanware menyebabkan timbulnya ekonomi sewa yang menyebabkan adanya penarikan pajak oleh pemerintah kolonial. Dalam hal ini penyewa (pachter)  berhak menerima pajak dari pemukiman nelayan dan hak istimewa pembelian garam dengan harga murah. Dalam sistem ekonomi sewa di sektor perikanan, seegala macam aspek investasi, eksploitasi penangkapan ikan, atau pemasaran saling menunjang. Masa ini disebut infoware (informasi) dan orgaware (metode).
Peran pachter sangat dominan, mereka mulai mengembangkan usaha dengan melakukan penyaluran alat-alat produksi ke nelayan. Hal inilah yang menyebabkan bertambahnya jumlah nelayan dan perahu. Pada masa ini diketahui bahwa perkembangan iptek dapat mempengaruhi tingkat kemajuan dan kemakmuran.
Deindrustrialisasi sektor penangkapan ikan terjadi pada akhir abad 19 dan awal abad 20 yang ditandai dengan menurunnya pendapatan, dan pergeseran usaha penangkapan ikan berskala besar di lepas pantai menjadi penangkapan ikan berskala kecil. Akibatnya penangkapan ikan menjadi sederhana yang bersifat artisenal (tradisional), serta usaha kecil. Bahkan jumlah perahu, nelayan, investasi, dan jaringan ekonomi nelayan mengalami kemerosotan, jumlah pendapatan nelayan pun menurun. Penyebab lainnya karena tidak berperannya institusi sewa yang diganti dengan sistem pajak kepala, yang menyebabkan ivestasi terhenti.
Industri pengolahan atau pengawetan iklan runtuh disebabkan tidak adanya garam subsidi. Industri pengolahan ikan pun sulit ditemui dan distribusi ikan ke pedalaman terhenti akibat terbatasnya transportasi. Keadaan ini terus berlangsung sampai saat ini, tidak heran jika masyarakat nelayan diidentikkan dengan masyarakat yang miskin jika di bandingkan dengan kelompok lainnya. Dengan kata lain struktur sosial-ekonomi yang terbentuk akibat deindrustrialisasi menciptakan kondisi tidak semua nelayan dapat memanfaatkan sumber-sumber ekonomi yang tersedia bagi mereka.
Modernisasi pada sektor penangkapan ikan pun dilakukan oleh pemerintah Hindia dengan menggunakan motor, namun hal ini berjalan lambat. Adanya investasi asing (joint venture) mengakibatkan peningkatan usaha penangkapan ikan berskala besar. Akibat kebijakan pembangunan sektor perikanan untuk peningkatan hasil produksi yang melalui pengembangan teknologi baru, terbentuklah sektor perikanan dualistik. Namun hal ini tidak mempengaruhi peningkatan perekonomian nelayan kecil. Dengan kata lain globalisasi tidak menguntungkan bagi nelayan miskin. Kebijakan pemerintah yang mempromosikan pengembangan penangkapan ikan berskala besar yang membuta termarjinalkannya usaha penangkapan ikan berskala kecil.
Adanya kebijakan open acces theory yang merujuk bahwa laut milik bersama mengakibatkan eksploitasi yang tidak terkontrol, yang berakibat pada kehancuran kondisi biologis, ekologis, ekonomis, dan konflik-konflik. Berdasarkan hal tersebut diterapkan kebijakan controlled acces regulation,  yang pertama yakni pembatasan jumlah perahu, jumlah dan jenis kapal, dan jenis alat tangkap. Yang kedua, pembatasan jumlah tangkapan dari tiap perahu berdasarkan kuota. Selain itu ada juga penerapan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang mengatur secara tegas dasar kontrol terhadap tanah, air, dan sumber-sumber mineral. Ada juga pembatasan penggunaan trawl, namun kurang efektif. Terakhir pada pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid dinentuklah Departemen Kelautan dan Perikanan yang tugasnya mengutamakan pengembangan atau peningkatan sektor peikanan dan juga pemanfaatan yang berkelanjutan terhadap sumber-sumber kelautan.
F.     Masalah yang di hadapi Nelayan Saat ini
Banyak faktor yang menyebabkan mayoritas nelayan di Indonesia masih terlilit derita kemiskinan.  Sejumlah faktor itu dapat dikelompokkan menjadi tiga: (1) faktor teknis, (2) faktor kultural, dan (3) faktor struktural.
Dalam tataran praktis, nelayan miskin karena pendapatan (income) nya lebih kecil dari pada pengeluaran untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga dan diri nya dalam kurun waktu tertentu.  Sejauh ini pendapatan nelayan, khususnya nelayan tradisional dan nelayan ABK dari kapal ikan komersial/modern (diatas 30 GT), pada umumnya kecil (kurang dari Rp 1 juta/bulan) dan sangat fluktuatif alias tidak menentu.
Secara teknis, pendapatan nelayan bergantung pada nilai jual ikan hasil tangkap dan ongkos (biaya) melaut.  Selanjutnya, nilai jual ikan hasil tangkapan ditentukan oleh ketersediaan stok ikan di laut, efisiensi tekonologi penangkapan ikan, dan harga jual ikan.  Sedangkan, biaya melaut bergantung pada kuantitas dan harga dari BBM, perbekalan serta logistik yang dibutuhkan untuk melaut yang bergantung pula pada ukuran (berat) kapal dan jumlah awak kapal ikan.  Selain itu, nilai investasi kapal ikan, alat penangkapan, dan peralatan pendukungnya sudah tentu harus dimasukkan kedalam perhitungan biaya melaut.  Berdasarkan pada sejumlah variables yang mempengaruhi pendapatan nelayan tersebut, sedikitnya ada sembilam permasalahan teknis yang membuat sebagian besar nelayan masih miskin.
1.      banyak nelayan yang kini melakukan usaha penangkapan ikan di wilayah-wilayah perairan laut yang stok SDI (sumber daya ikan) nya mengalami overfishing (tangkap lebih).
2.       pencemaran laut, perusakan ekosistem pesisir (seperti mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan estuari) yang semakin dahsyat, dan perubahan iklim global ditenggarai menurunkan stok (populasi) SDI.
3.      sebagian besar nelayan menangani (handling) ikan hasil tangkapan selama di kapal sampai di tempat pendaratan ikan (pelabuhan perikanan) belum mengikuti cara-cara penanganan yang baik (Best Handling Practices).  Akibatnya, mutu ikan begitu sampai di tempat pendaratan sudah menurun atau bahkan busuk, sehingga harga jualnya murah.  Hal ini disebabkan karena kebanyakan kapal ikan tidak dilengkapi dengan palkah pendingin atau wadah (container) yang diberi es untuk menyimpan ikan agar tetap segar.
4.      hampir semua nelayan tradisional mendaratkan ikan hasil tangkapannya di pemukiman nelayan, tempat pendaratan ikan (TPI), atau pelabuhan perikanan pantai (PPP) yang tidak dilengkapi dengan pabrik es atau cold storage dan tidak memenuhi persyaratan standar sanitasi dan higienis.  Sehingga, semakin memperburuk mutu ikan yang berimplikasi terhadap harga jual ikan
5.      masa paceklik dan kondisi laut sedang berombak besar atau angin kencang (badai), antara 2 sampai 4 bulan dalam setahun, nelayan tidak bisa melaut untuk menangkap ikan.  Bagi nelayan dan anggota keluarganya yang tidak memiliki usaha lain, saat-saat paceklik seperti ini praktis tidak ada income, sehingga mereka terpaksa pinjam uang dari para rentenir yang biasanya mematok bunga yang luar biasa tinggi, rata-rata 5 persen per bulan.  Di sinilah, awal nelayan mulai terjebak dalam ‘lingkaran setan kemiskinan’, karena pendapatan yang ia peroleh di musim banyak ikan, selain untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari juga dikeluarkan untuk bayar utang sekaligus bunganya.
6.      pada musim paceklik, harga jual ikan di lokasi pendaratan ikan biasanya tinggi (mahal), tetapi begitu musim ikan (peak season) tiba, harga jual mendadak turun drastis.  Lebih dari itu, nelayan pada umumnya menjual ikan kepada padagang perantara (middle-man), tidak bisa langsung kepada konsumen terakhir.  Sehingga, harga jual ikan yang mereka peroleh jauh lebih murah dari pada harga ikan yang sama di tangan konsumen terakhir.  Padahal, jumlah pedagang perantara itu umumnya lebih dari dua tingkatan.
7.      kebanyakan nelayan membeli jaring, alat tangkap lain, BBM, beras, dan bahan perbekalan lainnya untuk melaut juga dari pedagang perantara yang jumlahnya bisa lebih dari dua tingkatan, tidak langsung dari pabrik atau produsen pertama.  Sehingga, nelayan membeli semua sarana produksi perikanan tersebut dengan harga yang lebih mahal ketimbang harga sebenarnya di tingkat pabrik.  Kondisi ini tentu membuat biaya melaut lebih besar dari pada yang semestinya.
8.      harga BBM dan sarana produksi untuk melaut lainnya terus naik, sementara harga jual ikan relatif sama dari tahun ke tahun, atau kalaupun naik relatif lamban.  Hal ini tentu dapat mengurangi pendapatan nelayan.
9.      sistem bagi hasil antara pemilik kapal ikan, nahkoda kapal, fishing master, dan ABK ditenggarai jauh lebih menguntungkan pemilik kapal. Dan, yang paling dirugikan adalah ABK.  Karena itu, pada umumnya pemilik kapal modern (diatas 30 GT) beserta nahkoda kapal dan fishing master sudah sejahtera, bahkan kaya.  Sementara, ABK nya masih banyak yang miskin.

G.    Strategi untuk Menghadapi Masalah Para Nelayan
Peran Beranjak dari anatomi permasalahan kemiskinan nelayan di atas, maka kebijakan, strategi, dan program untuk memerangi kemiskinan nelayan dan sekaligus mensejahterahkannya haruslah bersifat komprehensif, terpadu, dan sistemik serta dikerjakan secara berkesinambungan.  Tidak bisa dilakukan dengan pendekatan proyek seperti yang kini dilakukan, dengan membagi-bagi kapal ikan kepada nelayan, tanpa mempersiapkan kapasitas mereka, dan tanpa memperhatikan keseimbangan antara ketersediaan stok ikan dan upaya tangkap.     Cara-cara semacam ini hanya membuat mental nelayan rusak, yakni membuat mereka manja dan hanya mau menjadi ‘tangan di bawah’, bukan ‘tangan di atas’.  Faktanya, sekarang banyak kapal bantuan itu tidak bisa dimanfaatkan oleh nelayan secara optimal.  Salah sasaran, karena si penerima biasanya konstituen dari partai si pemberi bantuan.
            Oleh karena itu, mulai sekarang kita perlu menerapkan grand design manajemen pembangunan perikanan tangkap yang tepat, benar dan berkelanjutan.  Sehingga, ia mampu menjaga kelestarian stok SDI, meningkatkan kesejahteraan nelayan, dan meningkatkan kontribusi sub-sektor perikanan tangkap bagi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa secara berkelanjutan.
Untuk pertama yang harus dilakukan adalah menata ulang dan memastikan, bahwa jumlah upaya tangkap dan laju penangkapan di suatu wilayah perairan laut (WPP, wilayah laut yang menjadi kewenangan pengelolaan pemerintah kabupaten/kota atau provinsi) tidak boleh melebihi 80% MSY SDI.  Atau, untuk wilayah-wilayah yang padat penduduk dan tinggi angka penganggurannya, bisa sampai sama dengan MSY SDI.




















III.             PENUTUP

A.    KESIMPULAN
kawasan pesisir adalah: “wilayah daratan dan wilayah laut yang bertemu di garis pantai dimana wilayah daratan mencakup daerah yang tergenang atau tidak tergenang air yang dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, dan intrusi air laut. Sedangkan wilayah laut mencakup perairan yang dipengaruhi oleh proses-proses alami daratan seperti sedimentasi dan aliran air tawar ke laut serta perairan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia di darat” (Bengen, 2000:3).
Efisiensi sistem produksi, dan penataan sistem manajemen sumber daya. Istilah ekonomi biru pertama kali diperkenalkan pada tahun 2010 oleh Gunter Pauli melalui bukunya yang berjudul The Blue Economy: 10 years 100 innovations 100 million jobs. Ekonomi biru menerapkan logika ekosistem, yaitu ekosistem selalu bekerja menuju tingkat efisiensi lebih tinggi untuk mengalirkan nutrien dan energi tanpa limbah untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi semua kontributor dalam suatu sistem. Selanjutnya, ekonomi biru menitikberatkan pada inovasi dan kreativitas yang meliputi variasi produk





B.     SARAN
 perlu menerapkan grand design manajemen pembangunan perikanan tangkap yang tepat, benar dan berkelanjutan.  Sehingga, nelayan mampu menjaga kelestarian stok SDI, meningkatkan kesejahteraan nelayan, dan meningkatkan kontribusi sub-sektor perikanan tangkap bagi pertumbuhan ekonomi dan kemajuan bangsa secara berkelanjutan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar