Minggu, 31 Mei 2015

makalah hutan mangrove


 I.              PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/ peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Wilayah pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan, yang  mencakup beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem hutan mangrove.
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir dan lautan yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis ketersediaannya. Di beberapa daerah wilayah pesisir di Indonesia sudah terlihat adanya degradasi dari hutan mangrove akibat penebangan hutan mangrove yang melampaui batas kelestariannya. Hutan mangrove telah dirubah menjadi berbagai kegiatan pembangunan seperti perluasan areal pertanian, pengembangan budidaya pertambakan, pembangunan dermaga dan lain sebagainya.
Seharusnya kegiatan pembangunan tidak perlu merusak ekosistem pantai dan hutan  mangrovenya, asalkan mengikuti penataan yang rasional, yaitu dengan memperhatikan segi – segi fungsi ekosistem pesisir dan lautan dengan menata sepadan pantai dan jalur hijau dan mengkonservasi jalur hijau hutan mangrove untuk perlindungan pantai, pelestarian siklus hidup biota perairan pantai (ikan dan udang, kerang, penyu), terumbu karang, rumput laut,
Ekosistem hutan mangrove merupakan sumber daya alam yang memberikan banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya memelihara alam. Hutan mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah hutan mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut.
Hutan mangrove merupakan salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarian dan pengelolaannya. Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan habitat biota laut.
B.  Rumusan Masalah
Rumusan masalah makalah ini yaitu :
1.    Apa arti atau pengertian hutan mangrove?
2.    Apa saja manfaat dari hutan mangrove?
3.    Bagaimanakah peran pemerintah dalam memperhatikan kondisi hutan mangrove di Indonesia, di tuangkan dalam peraturan undang-undang?

C.  Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian hutan mangrove, manfaat dari hutan mangrove serta mengetahui peran serta pemerintah dalam menjaga kondisi hutan mangrove Indonesia yang di tuangkan dalam undang-undang.

D.  Manfaat Penulisan
1.    Sebagai syarat pemenuhan tugas individu penulis dalam mata kuliah ilmu lingkungan.
2.    Sebagai bahan acuan mahasiswa untuk mengetahui pasti peran dan fungsi hutan dalam kehidupan sehari-hari khusunya hutan mangrove.





II.            TINJAUAN PUSTAKA
A.  Pengertian Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara sungai yang tergenang pada saat air laut pasang dan bebas dari genangan pada saat air laut surut yang komunitas tumbuhannya adaptif terhadap garam (Kusmana: 2003).
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis ”mangue” dan bahasa Inggris ”grove” (Macnae: 1968 dalam Kusmana: 2003). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun jenis-jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
Hutan Bakau atau disebut juga Hutan mangrove adalah sebutan untuk sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang surut pantai di atas rawa – rawa berair payau yang terletak pada garis pantai. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat – tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk – teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai di mana air melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Istilah “mangrove” digunakan sebagai pengganti istilah bakau untuk menghindarkan kemungkinan salah pengertian dengan hutan yang terdiri atas pohon bakau Rhizophora spp. Karena bukan hanya pohon bakau yang tumbuh di sana. Selain bakau, terdapat banyak jenis tumbuhan lain yang hidup di dalamnya. Ekosistem hutan mangrove bersifat khas, baik karena adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya abrasi tanah, salinitas tanahnya yang tinggi, serta mengalami daur penggenangan oleh pasang surut air laut. Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan jenis – jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati proses adaptasi dan evolusi.
Hutan mangrove terdapat di sepanjang garis pantai di kawasan tropis, dan menjadi pendukung berbagai jasa ekosistem, termasuk produksi perikanan dan siklus unsur hara. Namun luas hutan mangrove telah mengalami penurunan sampai 30 – 50% dalam setengah abad terakhir ini karena pembangunan daerah pesisir, perluasan pembangunan tambak dan penebangan yang berlebihan.
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan lautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan (nurseryground) berbagai macam biota, penahan abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah interusi air laut, hutan mangrove juga  mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu, obat – obatan, alat dan teknik penangkapan ikan.

B.  Manfaat Hutan Mangrove
Hutan Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Sementara ini wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas wilayah pesisir di daratan ialah daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang air dan masih dipengaruhi oleh proses-proses bahari seperti pasang surutnya laut, angin laut dan intrusi air laut, sedangkan batas wilayah pesisir di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing elmen dalam ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu komponen ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar. Secara biologi hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat memijah (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu, hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah. Secara biologis ekosistem hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Produktivitas primer ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya (White, 1987). Oleh karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang berguguran diuraikan oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen bahan organik yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi banyak biota perairan (udang, kepiting dan lain-lain) (Naamin, 1990). Mangrove sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya (Saenger et al., 1983). Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero, bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula, alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan lain-lain. Menurut Saenger et al. (1983), hutan mangrove juga berperan dalam pendidikan, penelitian dan pariwisata. Bahkan menurut FAO (1982), di kawasan Asia dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai lahan cadangan untuk transmigrasi, industri minyak, pemukiman dan peternakan.
Dari kawasan hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat. Pertama, berupa hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya. Kedua, berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan produksi baik pangan maupun non-pangan serta sarana/prasarana penunjang dan pemukiman. Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari ekosistem mangrove berupa perlindungan terhadap abrasi, pencegah terhadap rembesan air laut dan lain-lain fungsi fisik. Kerusakan hutan mangrove di Secanggang, menyebabkan penurunan pendapatan sebesar 33,89% dimana kelompok yang paling besar terkena dampak adalah nelayan. Selain itu sekitar 85,4% masyrakat pesisir di kawasan tersebut kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum kerusakan mangrove
.
Menurut Suryanto (2007) mengungkapkan beberapa keutamaan hutan mangrove baik dari aspek ekonomi maupun aspek lingkungan, yaitu:
1.       Penghasil Kayu. Hutan mangrove dengan komposisi berbagai jenis pohon dapat menghasilkan kayu untuk pertukangan dan industri lainnya.
2.       Tempat pemijahan berbagai jenis ikan. Dengan adanya hutan mangrove di tepi pantai, ikan kecil, kepiting dan udang sangat menyukainya untuk berlindung karena gelombang di bawah tegakan hutan mangrove relatif tenang. Keberadaan biota tersebut juga didukung banyaknya plankton.
3.       Menjaga kelestarian terumbu karang. Terumbu karang sangat berguna untuk tempat berlindung beranekaragam binatang air serta memungkinkan dikembangkan untuk tempat wisata alam.
4.       Mencegah abrasi dan erosi pantai. Keutuhan pantai dapat terjaga dan menghindari penurunan luasan pantai secara drastis.
Sebagai perisai hidup. Apabila terjadi bencana gelombang tsunami, sehingga sekalipun tertimpa musibah, namun dampak yang ditimbulkannya tidak akan separah seperti yang terjadi di Aceh. Menurut informasi 50% kekuatan gempasan gelombang dapat diredam oleh hutan mangrove.
C.  Kebijakan Pemerintah Mengenai Hutan Mangrove Di Indonesia.
Departemen Kehutanan sebagai departemen teknis yang mengemban tugas dalam pengelolaan hutan, maka landasan dan prinsip dasar yang dibuat harus berdasarkan peraturan yang berlaku, landasan keilmuan yang relevan, dan konvensi-konvensi internasional terkait dimana Indonesia turut meratifikasinya. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Pengelolaan Hutan Lestari
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43).
Adapun berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak (pasal 5, ayat 1). Berkaitan dengan hal itu, Departemen Kehutanan secara teknis fungsional menyelenggarakan fungsi pemerinthan dan pembangunan dengan menggunakan pendekatan ilmu kehutanan untuk melindungi, melestarikan, dan mengembangkan ekosistem hutan baik mulai dari wilayah pegunungan hingga wilayah pantai dalam suati wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), termasuk struktur sosialnya. Dengan demikian sasaran Departemen Kehutanan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan sosial baik di dalam hutan negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka melaksanakan fungsinya, Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang antara lain teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur) yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.
2.    Desentralisasi Kewenangan Pengelolaan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, maka kewenangan Pemerintah (pusat) dalam rehabilitasi hutan dan lahan (termasuk hutan mangrove) hanya terbatas menetapkan pola umum rehabilitasi hutan dan lahan, penyusunan rencana makro, penetapan kriteria, standar, norma dan pedoman, bimbingan teknis dan kelembagaan, serta pengawasan dan pengendalian. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan (pada hutan produksi, hutan lindung, hutan hak, dan tanah milik) diselenggarakan oleh pemerintah daerah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawsan hutan konservasi masih menjadi kewenangan Pemerintah (pusat).
3.    Konservasi dan Rehabilitasi Secara Partisipatif
Dalam program konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, pemerintah lebih berperan sebagai mediator dan fasilitator (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang ditetapkan), sementara masyarakat sebagai pelaksana yang mampu mengambil inisiatif.
  Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan disebutkan bahwa Dana Reboisasi sebesar 40% dialokasikan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk rehabilitasi hutan dan lahan di daerah penghasil (kabupaten/kota) termasuk untuk rehabilitasi hutan mangrove.
Hingga saat ini Departemen Kehutanan telah mengkoordinasi dengan Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah serta Bappenas untuk mempersiapkan penyaluran dan pengelolaan DAK-DR dimaksud.
4.    Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove
Di dalam menyelenggarakan kewenangannya dalam pengelolaan hutan mangrove, Departemen Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah, yaitu Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) akan tetapi operasional penyelenggaraan rehabilitasi dilaksanakan Pemerintah Propinsi dan terutama Pemerintah Kabupaten/Kota (dinas yang membidangi kehutanan).
Sedangkan untuk meningkatkan intensitas penguasaan teknologi dan diseminasi informasi mangrove, Departemen Kehutanan sedang mengembangkan Pusat Rehabilitasi Mangrove (Mangrove Centre) di Denpasar  Bali (untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara) yang selanjutnya akan difungsikan untuk kepentingan pelatihan, penyusunan dan sebagai pusat informasi. Untuk kedepan sedang dikembangkan Sub Centre Informasi Mangrove di Pemalang  Jawa Tengah (untuk wilayah Pulau Jawa), di Sinjai  Sulawesi Selatan (untuk wilayah Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya), di Langkat  Sumatera Utara (untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan).
Adapun untuk mengarahkan pencapaian tujuan sesuai dengan jiwa otonomi daerah, Pemerintah (pusat) telah menetapkan Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Keputusan Menteri Kehutanan No. 20/Kpts-II/2001), termasuk di dalamnya rehabilitasi hutan yang merupakan pedoman penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) serta masyarakat.
Strategi yang diterapkan Departemen Kehutanan untuk menuju kelestarian pengelolaan hutan mangrove: (1) Sosialisasi fungsi hutan mangrove, (2) Rehabilitasi dan konservasi, (3) Penggalangan dana dari berbagai sumber. 







III.           PEMBAHASAN
A.  Hutan Mangrove
Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu, penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari.
Hutan mangrove memberikan perlindungan kepada berbagai organisme baik hewan darat maupun hewan air untuk hidup dan berkembang biak. Hutan mangrove dipenuhi pula oleh kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan, primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity), ekosistem mangrove juga sebagai plasma nutfah (geneticpool) dan menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Habitat mangrove merupakan tempat mencari makan (feeding ground) bagi hewan-hewan tersebut dan sebagai tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground), tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat berlindung yang aman bagi berbagai ikan-ikan kecil serta kerang (shellfish) dari predator.
Beberapa manfaat hutan mangrove dapat dikelompokan sebagai berikut: pertama, manfaat dari segi fisik (menjaga agar garis pantai tetap stabil, melindungi pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi, menahan badai/angin kencang dari laut, menahan hasil proses penimbunan lumpur, sehingga memungkinkan terbentuknya lahan baru, menjadi wilayah penyangga, serta berfungsi menyaring air laut menjadi air daratan yang tawar, mengolah limbah beracun, penghasil O2 dan penyerap CO2.
Kedua, manfaat dari segi biologi (menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi sumber makanan penting bagi plankton, sehingga penting pula bagi keberlangsungan rantai makanan, tempat memijah dan berkembang biaknya ikan-ikan, kerang, kepiting dan udang, tempat berlindung, bersarang dan berkembang biak dari burung dan satwa lain, sumber plasma nutfah dan sumber genetik, merupakan habitat alami bagi berbagai jenis biota).
Ketiga, manfaat dari segi ekonomi (penghasil kayu : bakar, arang, bahan bangunan, penghasil bahan baku industri : pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, kosmetik, penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, tempat wisata, penelitian dan pendidikan).
Hutan mangrove merupakan salah satu bagian dari ekosistem pantai (pesisir).  Tipe hutan ini beserta tipe-tipe ekosistem lainnya (terumbu karang, estuaria) saling berinteraksi dalam upaya memelihara produktivitas perairan pantai dan kestabilan habitat atau lingkungan pantai.
Untuk mengatasi persoalan abrasi ini, pemerintah bersama masyarakat seharusnya mempunyai komitmen yang kuat untuk melakukan penghijauan hutan mangrove dan upaya pelestariannya di sekitar pantai yang terkena ancaman abrasi.
B.  Pokok -pokok Kegiatan Mangrove
Dalam upaya pengelolaan hutan mangrove, Departemen Kehutanan telah, sedang, dan akan melakukan kegiatan-kegiatan baik dalam bentuk kegiatan operasional teknis di lapangan maupun yang bersifat konseptual. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Operasional Teknis Sejak Tahun Anggaran 1994/1995 sampai dengan Tahun Dinas 2001, kegiatan operasional teknis yang dilaksanakan di lapangan oleh Balai/Sub Balai RLKT (sekarang bernama Balai Pengelolaan DAS) sebagai Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan adalah rehabilitasi hutan mangrove di luar kawasan hutan dan di dalam kawasan hutan seluas 22.699 Ha melalui bantuan bibit, pembuatan unit percontohan empang parit dan penanaman/rehab bakau, yang tersebar di 18 Propinsi.
2.    Penyusunan Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove
3.    Inventarisasi kerusakan hutan mangrove (22 Propinsi)
4.    Penyusunan basis data pengelolaan hutan mangrove
5.    Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah Pantai Kabupaten
IV.          PENUTUP
A.  Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa alam memiliki siklus regenerasi yang seimbang. Adanya campur tangan manusia menyebabkan percepatan kerusakan lingkungan. Terdapat berbagai cara untuk merehabilitasi lingkungan yang telah rusak, namun dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk mengembalikan lingkungan seperti sedia kala. Selain itu kondisinya tidak akan lebih baik dibandingkan apa yang dikerjakan alam secara alami.
Contohnya adalah hutan bakau di Indonesia yang hanya dalam 13 tahun luasnya berkurang mencapai 60%. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena hutan bakau memiliki peranan penting bagi ekosistem maupun manusia.
Oleh karena itu sebagai generasi pewaris bumi kita perlu melestarikan keberadaan hutan bakau untuk kehidupan manusia yang akan datang. Cara-cara tersebut antara lain dengan menghentikan segala bentuk aktivitas yang dapat merusak hutan bakau dan melakukan usaha rehabilitasi.
B.  Saran
Untuk melestarikan keberadaan hutan bakau maka penyusun menyarankan agar masyarakat menghentikan segala bentuk aktivitas yang dapat merusak hutan bakau dan melakukan usaha rehabilitasi baik untuk mencegah kerusakan hutan bakau maupun memulihkan kembali kondisi hutan bakau yang telah rusak. Selain itu pemerintah juga perlu mempertegas undang-undang yang mengatur tentang perusakan kawasan hutan dan menggalakkan program-program penyelamatan hutan bakau.
DAFTAR PUSTAKA
Akil, Sjarifuddin. 2002. Kebijakan Kimpraswil Dalam Rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Makalah Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan perikanan Tahun 2002. Jakarta.Nurmalasari, Y. Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisr Berbasis Masyarakat.
Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management Concepts dan Practices. Island Press. Washington, DC..
La, An. 2008. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir Dengan Memenfaatkan Sistem Informasi Geografi dan Data Penginderaan Jarak Jauh
Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Tinjauan Aspek Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir. Seminar Umum Dies Natalis ITS ke-34. Surabaya
Muttaqiena, dkk. 2009. Makalah Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Berkelanjutan Pasca Tsunami Desember 2004
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

Wiyana, Adi. 2004. Faktor Berpengaruh Terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Pesisir Terpadu (P2T).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar