I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis
Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan
garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang
strategis karena merupakan wilayah interaksi/ peralihan (interface)
antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan
mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Wilayah
pesisir merupakan ekosistem transisi yang dipengaruhi daratan dan lautan,
yang mencakup beberapa ekosistem, salah
satunya adalah ekosistem hutan mangrove.
Hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem wilayah pesisir
dan lautan yang sangat potensial bagi kesejahteraan masyarakat baik dari segi
ekonomi, sosial dan lingkungan hidup, namun sudah semakin kritis
ketersediaannya. Di beberapa daerah wilayah pesisir di Indonesia sudah terlihat
adanya degradasi dari hutan mangrove akibat penebangan hutan mangrove yang
melampaui batas kelestariannya. Hutan mangrove telah dirubah menjadi berbagai
kegiatan pembangunan seperti perluasan areal pertanian, pengembangan budidaya
pertambakan, pembangunan dermaga dan lain sebagainya.
Seharusnya kegiatan pembangunan tidak perlu merusak
ekosistem pantai dan hutan mangrovenya,
asalkan mengikuti penataan yang rasional, yaitu dengan memperhatikan segi –
segi fungsi ekosistem pesisir dan lautan dengan menata sepadan pantai dan jalur
hijau dan mengkonservasi jalur hijau hutan mangrove untuk perlindungan pantai,
pelestarian siklus hidup biota perairan pantai (ikan dan udang, kerang, penyu),
terumbu karang, rumput laut,
Ekosistem
hutan mangrove merupakan sumber daya alam yang memberikan banyak keuntungan
bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya
memelihara alam. Hutan mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena
itulah hutan mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut.
Hutan mangrove merupakan
salah satu bentuk ekosistem hutan yang unik dan khas, terdapat di daerah pasang
surut di wilayah pesisir, pantai, dan atau pulau-pulau kecil, dan merupakan
potensi sumberdaya alam yang sangat potensial. Hutan mangrove memiliki nilai
ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan
apabila kurang bijaksana dalam mempertahankan, melestarian dan pengelolaannya.
Hutan mangrove sangat menunjang perekonomian masyarakat pantai, karena
merupakan sumber mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan.
Secara ekologis hutan mangrove di samping sebagai habitat biota laut, juga
merupakan tempat pemijahan bagi ikan yang hidup di laut bebas. Keragaman jenis
mangrove dan keunikannya juga memiliki potensi sebagai wahana hutan wisata dan
atau penyangga perlindungan wilayah pesisir dan pantai, dari berbagai ancaman
sedimentasi, abrasi, pencegahan intrusi air laut, serta sebagai sumber pakan
habitat biota laut.
B. Rumusan Masalah
Rumusan
masalah makalah ini yaitu :
1.
Apa
arti atau pengertian hutan mangrove?
2.
Apa
saja manfaat dari hutan mangrove?
3.
Bagaimanakah
peran pemerintah dalam memperhatikan kondisi hutan mangrove di Indonesia, di
tuangkan dalam peraturan undang-undang?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian hutan mangrove, manfaat
dari hutan mangrove serta mengetahui peran serta pemerintah dalam menjaga
kondisi hutan mangrove Indonesia yang di tuangkan dalam undang-undang.
D. Manfaat Penulisan
1.
Sebagai
syarat pemenuhan tugas individu penulis dalam mata kuliah ilmu lingkungan.
2.
Sebagai
bahan acuan mahasiswa untuk mengetahui pasti peran dan fungsi hutan dalam
kehidupan sehari-hari khusunya hutan mangrove.
II.
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Pengertian Hutan Mangrove
Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh
di daerah pasang surut, terutama di pantai yang terlindung, laguna dan muara
sungai yang tergenang pada saat air laut pasang dan bebas dari genangan pada
saat air laut surut yang komunitas tumbuhannya adaptif terhadap garam
(Kusmana: 2003).
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa
Portugis ”mangue” dan bahasa Inggris ”grove” (Macnae: 1968 dalam
Kusmana: 2003). Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk
komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang surut maupun
jenis-jenis tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
Hutan
Bakau atau disebut juga Hutan
mangrove adalah sebutan untuk sekelompok tumbuhan yang hidup di daerah pasang
surut pantai di atas rawa – rawa berair payau yang terletak pada garis pantai. Hutan ini tumbuh khususnya di tempat
– tempat di mana terjadi pelumpuran dan akumulasi bahan organik. Baik di teluk – teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara
sungai di mana air
melambat dan mengendapkan lumpur yang dibawanya dari hulu.
Istilah “mangrove” digunakan sebagai
pengganti istilah bakau untuk menghindarkan kemungkinan salah pengertian dengan
hutan yang terdiri atas pohon bakau Rhizophora spp. Karena bukan hanya pohon
bakau yang tumbuh di sana. Selain bakau, terdapat banyak jenis tumbuhan lain
yang hidup di dalamnya. Ekosistem hutan mangrove bersifat khas, baik karena
adanya pelumpuran yang mengakibatkan kurangnya abrasi tanah, salinitas tanahnya
yang tinggi, serta mengalami daur penggenangan oleh pasang surut air laut.
Hanya sedikit jenis tumbuhan yang bertahan hidup di tempat semacam ini, dan
jenis – jenis ini kebanyakan bersifat khas hutan bakau karena telah melewati
proses adaptasi dan evolusi.
Hutan mangrove terdapat di sepanjang
garis pantai di kawasan tropis, dan menjadi pendukung berbagai jasa ekosistem,
termasuk produksi perikanan dan siklus unsur hara. Namun luas hutan mangrove
telah mengalami penurunan sampai 30 – 50% dalam setengah abad terakhir ini
karena pembangunan daerah pesisir, perluasan pembangunan tambak dan penebangan
yang berlebihan.
Hutan mangrove merupakan ekosistem
utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir dan lautan. Selain
mempunyai fungsi ekologis sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, tempat
pemijahan dan asuhan (nurseryground) berbagai macam biota, penahan
abrasi pantai, amukan angin taufan dan tsunami, penyerap limbah, pencegah
interusi air laut, hutan mangrove juga
mempunyai fungsi ekonomis yang tinggi seperti sebagai penyedia kayu,
obat – obatan, alat dan teknik penangkapan ikan.
B. Manfaat Hutan Mangrove
Hutan
Bakau (mangrove) merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi
oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut pantai berlumpur (Bengen, 2000). Sementara ini wilayah pesisir
didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut. Batas
wilayah pesisir di daratan ialah daerah-daerah yang tergenang air maupun yang
tidak tergenang air dan masih dipengaruhi oleh proses-proses bahari seperti
pasang surutnya laut, angin laut dan intrusi air laut, sedangkan batas wilayah
pesisir di laut ialah daerah-daerah yang dipengaruhi oleh proses-proses alami
di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut, serta
daerah-daerah laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan
seperti penggundulan hutan dan pencemaran.
Kawasan
pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi
secara timbal balik (Siregar dan Purwaka, 2002). Masing-masing elmen dalam
ekosistem memiliki peran dan fungsi yang saling mendukung. Kerusakan salah satu
komponen ekosistem dari salah satunya (daratan dan lautan) secara langsung
berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem keseluruhan. Hutan mangrove
merupakan elemen yang paling banyak berperan dalam menyeimbangkan kualitas
lingkungan dan menetralisir bahan-bahan pencemar. Secara biologi hutan mangrove
mempunyai fungsi sebagai daerah berkembang biak (nursery ground), tempat
memijah (spawning ground), dan mencari makanan (feeding ground) untuk berbagai
organisme yang bernilai ekonomis khususnya ikan dan udang. Habitat berbagai
satwa liar antara lain, reptilia, mamalia, hurting dan lain-lain. Selain itu,
hutan mangrove juga merupakan sumber plasma nutfah. Secara biologis ekosistem
hutan mangrove memiliki produktivitas yang tinggi. Produktivitas primer
ekosistem mangrove ini sekitar 400-500 gram karbon/m2/tahun adalah tujuh kali
lebih produktif dari ekosistem perairan pantai lainnya (White, 1987). Oleh
karenanya, ekosistem mangrove mampu menopang keanekaragaman jenis yang tinggi. Daun mangrove yang
berguguran diuraikan oleh fungi, bakteri dan protozoa menjadi komponen-komponen
bahan organik yang lebih sederhana (detritus) yang menjadi sumber makanan bagi
banyak biota perairan (udang, kepiting dan lain-lain) (Naamin, 1990). Mangrove
sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat yang tinggal di sekitarnya
(Saenger et al., 1983). Tercatat sekitar 67 macam produk yang dapat dihasilkan
oleh ekosistem hutan mangrove dan sebagian besar telah dimanfaatkan oleh
masyarakat, misalnya untuk bahan bakar (kayu bakar, arang, alkohol); bahan
bangunan (tiang-tiang, papan, pagar); alat-alat penangkapan ikan (tiang sero,
bubu, pelampung, tanin untuk penyamak); tekstil dan kulit (rayon, bahan untuk
pakaian, tanin untuk menyamak kulit); makanan, minuman dan obat-obatan (gula,
alkohol, minyak sayur, cuka); peralatan rumah tangga (mebel, lem, minyak untuk
menata rambut); pertanian (pupuk hijau); chips untuk pabrik kertas dan
lain-lain. Menurut Saenger et al. (1983), hutan mangrove juga berperan dalam
pendidikan, penelitian dan pariwisata. Bahkan menurut FAO (1982), di kawasan
Asia dan Pasifik, areal mangrove juga digunakan sebagai lahan cadangan untuk transmigrasi,
industri minyak, pemukiman dan peternakan.
Dari kawasan hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat. Pertama, berupa hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya. Kedua, berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan produksi baik pangan maupun non-pangan serta sarana/prasarana penunjang dan pemukiman. Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari ekosistem mangrove berupa perlindungan terhadap abrasi, pencegah terhadap rembesan air laut dan lain-lain fungsi fisik. Kerusakan hutan mangrove di Secanggang, menyebabkan penurunan pendapatan sebesar 33,89% dimana kelompok yang paling besar terkena dampak adalah nelayan. Selain itu sekitar 85,4% masyrakat pesisir di kawasan tersebut kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum kerusakan mangrove.
Dari kawasan hutan mangrove dapat diperoleh tiga macam manfaat. Pertama, berupa hasil hutan, baik bahan pangan maupun bahan keperluan lainnya. Kedua, berupa pembukaan lahan mangrove untuk digunakan dalam kegiatan produksi baik pangan maupun non-pangan serta sarana/prasarana penunjang dan pemukiman. Manfaat ketiga berupa fungsi fisik dari ekosistem mangrove berupa perlindungan terhadap abrasi, pencegah terhadap rembesan air laut dan lain-lain fungsi fisik. Kerusakan hutan mangrove di Secanggang, menyebabkan penurunan pendapatan sebesar 33,89% dimana kelompok yang paling besar terkena dampak adalah nelayan. Selain itu sekitar 85,4% masyrakat pesisir di kawasan tersebut kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum kerusakan mangrove.
Menurut
Suryanto (2007) mengungkapkan beberapa keutamaan hutan mangrove baik dari aspek
ekonomi maupun aspek lingkungan, yaitu:
1.
Penghasil
Kayu. Hutan mangrove dengan komposisi berbagai jenis pohon dapat menghasilkan
kayu untuk pertukangan dan industri lainnya.
2.
Tempat
pemijahan berbagai jenis ikan. Dengan adanya hutan mangrove di tepi pantai,
ikan kecil, kepiting dan udang sangat menyukainya untuk berlindung karena
gelombang di bawah tegakan hutan mangrove relatif tenang. Keberadaan biota
tersebut juga didukung banyaknya plankton.
3.
Menjaga
kelestarian terumbu karang. Terumbu karang sangat berguna untuk tempat
berlindung beranekaragam binatang air serta memungkinkan dikembangkan untuk
tempat wisata alam.
4.
Mencegah
abrasi dan erosi pantai. Keutuhan pantai dapat terjaga dan menghindari
penurunan luasan pantai secara drastis.
Sebagai perisai hidup. Apabila terjadi bencana gelombang tsunami, sehingga sekalipun tertimpa musibah, namun dampak yang ditimbulkannya tidak akan separah seperti yang terjadi di Aceh. Menurut informasi 50% kekuatan gempasan gelombang dapat diredam oleh hutan mangrove.
Sebagai perisai hidup. Apabila terjadi bencana gelombang tsunami, sehingga sekalipun tertimpa musibah, namun dampak yang ditimbulkannya tidak akan separah seperti yang terjadi di Aceh. Menurut informasi 50% kekuatan gempasan gelombang dapat diredam oleh hutan mangrove.
C. Kebijakan Pemerintah Mengenai Hutan
Mangrove Di Indonesia.
Departemen
Kehutanan sebagai departemen teknis yang mengemban tugas dalam pengelolaan
hutan, maka landasan dan prinsip dasar yang dibuat harus berdasarkan peraturan
yang berlaku, landasan keilmuan yang relevan, dan konvensi-konvensi
internasional terkait dimana Indonesia turut meratifikasinya. Kebijakan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Pengelolaan Hutan Lestari
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka
pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan
lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal
2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang
yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi,
wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi
(Pasal 43).
Adapun berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan
negara dan hutan hak (pasal 5, ayat 1). Berkaitan dengan hal itu, Departemen
Kehutanan secara teknis fungsional menyelenggarakan fungsi pemerinthan dan
pembangunan dengan menggunakan pendekatan ilmu kehutanan untuk melindungi,
melestarikan, dan mengembangkan ekosistem hutan baik mulai dari wilayah
pegunungan hingga wilayah pantai dalam suati wilayah Daerah Aliran Sungai
(DAS), termasuk struktur sosialnya. Dengan demikian sasaran Departemen
Kehutanan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik
dan sosial baik di dalam hutan negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam
rangka melaksanakan fungsinya, Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan
penunjang antara lain teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan
(sebagai infrastruktur) yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.
2.
Desentralisasi Kewenangan Pengelolaan
Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor
25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, maka
kewenangan Pemerintah (pusat) dalam rehabilitasi hutan dan lahan (termasuk
hutan mangrove) hanya terbatas menetapkan pola umum rehabilitasi hutan dan
lahan, penyusunan rencana makro, penetapan kriteria, standar, norma dan
pedoman, bimbingan teknis dan kelembagaan, serta pengawasan dan pengendalian.
Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan (pada hutan produksi,
hutan lindung, hutan hak, dan tanah milik) diselenggarakan oleh pemerintah
daerah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawsan hutan konservasi
masih menjadi kewenangan Pemerintah (pusat).
3.
Konservasi dan Rehabilitasi Secara
Partisipatif
Dalam
program konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, pemerintah lebih berperan
sebagai mediator dan fasilitator (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang
ditetapkan), sementara masyarakat sebagai pelaksana yang mampu mengambil
inisiatif.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 104
Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan disebutkan bahwa Dana Reboisasi sebesar 40%
dialokasikan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk rehabilitasi hutan dan
lahan di daerah penghasil (kabupaten/kota) termasuk untuk rehabilitasi hutan
mangrove.
Hingga saat ini
Departemen Kehutanan telah mengkoordinasi dengan Departemen Keuangan,
Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah serta Bappenas untuk mempersiapkan
penyaluran dan pengelolaan DAK-DR dimaksud.
4.
Pengembangan
Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove
Di dalam menyelenggarakan
kewenangannya dalam pengelolaan hutan mangrove, Departemen Kehutanan membawahi
Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah, yaitu Balai Pengelolaan DAS
(BPDAS) akan tetapi operasional penyelenggaraan rehabilitasi dilaksanakan
Pemerintah Propinsi dan terutama Pemerintah Kabupaten/Kota (dinas yang
membidangi kehutanan).
Sedangkan untuk meningkatkan intensitas
penguasaan teknologi dan diseminasi informasi mangrove, Departemen Kehutanan
sedang mengembangkan Pusat Rehabilitasi Mangrove (Mangrove Centre) di
Denpasar Bali (untuk wilayah Bali dan
Nusa Tenggara) yang selanjutnya akan difungsikan untuk kepentingan pelatihan,
penyusunan dan sebagai pusat informasi. Untuk kedepan sedang dikembangkan Sub
Centre Informasi Mangrove di Pemalang
Jawa Tengah (untuk wilayah Pulau Jawa), di Sinjai Sulawesi Selatan (untuk wilayah Sulawesi,
Maluku dan Irian Jaya), di Langkat
Sumatera Utara (untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan).
Adapun untuk mengarahkan pencapaian
tujuan sesuai dengan jiwa otonomi daerah, Pemerintah (pusat) telah menetapkan
Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Keputusan
Menteri Kehutanan No. 20/Kpts-II/2001), termasuk di dalamnya rehabilitasi hutan
yang merupakan pedoman penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan bagi
Pemerintah, Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) serta masyarakat.
Strategi yang diterapkan Departemen
Kehutanan untuk menuju kelestarian pengelolaan hutan mangrove: (1) Sosialisasi
fungsi hutan mangrove, (2) Rehabilitasi dan konservasi, (3) Penggalangan dana
dari berbagai sumber.
III.
PEMBAHASAN
A. Hutan
Mangrove
Hutan mangrove
dikenal juga dengan istilah hutan payau (bahasa Indonesia). Selain itu, hutan mangrove
oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa
Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Penggunaan istilah hutan bakau untuk
hutan mangrove sebenarnya kurang tepat dan rancu, karena bakau hanyalah
nama lokal dari marga Rhizophora, sementara hutan mangrove disusun
dan ditumbuhi oleh banyak marga dan jenis tumbuhan lainnya. Oleh karena itu,
penyebutan hutan mangrove dengan hutan bakau sebaiknya dihindari.
Hutan mangrove
memberikan perlindungan kepada berbagai organisme baik hewan darat maupun hewan
air untuk hidup dan berkembang biak. Hutan mangrove dipenuhi pula oleh
kehidupan lain seperti mamalia, amfibi, reptil, burung, kepiting, ikan,
primata, serangga dan sebagainya. Selain menyediakan keanekaragaman hayati (biodiversity),
ekosistem mangrove juga sebagai plasma nutfah (geneticpool) dan
menunjang keseluruhan sistem kehidupan di sekitarnya. Habitat mangrove
merupakan tempat mencari makan (feeding ground) bagi hewan-hewan
tersebut dan sebagai tempat mengasuh dan membesarkan (nursery ground),
tempat bertelur dan memijah (spawning ground) dan tempat berlindung yang
aman bagi berbagai ikan-ikan kecil serta kerang (shellfish) dari
predator.
Beberapa manfaat hutan mangrove dapat dikelompokan
sebagai berikut: pertama, manfaat
dari segi fisik (menjaga agar garis pantai tetap stabil,
melindungi
pantai dan sungai dari bahaya erosi dan abrasi,
menahan
badai/angin kencang dari laut, menahan hasil proses
penimbunan lumpur, sehingga memungkinkan terbentuknya lahan baru, menjadi wilayah penyangga, serta berfungsi menyaring air
laut menjadi air daratan yang tawar,
mengolah
limbah beracun, penghasil O2 dan penyerap CO2.
Kedua,
manfaat dari segi biologi (menghasilkan bahan pelapukan yang menjadi
sumber makanan penting bagi plankton, sehingga penting pula bagi keberlangsungan rantai makanan, tempat memijah dan berkembang biaknya
ikan-ikan, kerang, kepiting dan udang,
tempat
berlindung, bersarang dan berkembang biak dari burung dan satwa lain, sumber plasma nutfah dan
sumber
genetik, merupakan habitat alami bagi berbagai
jenis biota).
Ketiga,
manfaat dari segi ekonomi (penghasil kayu : bakar,
arang, bahan bangunan, penghasil bahan baku
industri : pulp, kertas, tekstil, makanan, obat-obatan, kosmetik, penghasil bibit ikan, nener, kerang, kepiting, tempat wisata, penelitian dan pendidikan).
Hutan mangrove
merupakan salah satu bagian dari ekosistem pantai (pesisir). Tipe hutan
ini beserta tipe-tipe ekosistem lainnya (terumbu karang, estuaria) saling
berinteraksi dalam upaya memelihara produktivitas perairan pantai dan
kestabilan habitat atau lingkungan pantai.
Untuk mengatasi
persoalan abrasi ini, pemerintah bersama masyarakat seharusnya mempunyai
komitmen yang kuat untuk melakukan penghijauan hutan mangrove dan upaya
pelestariannya di sekitar pantai yang terkena ancaman abrasi.
B. Pokok
-pokok Kegiatan Mangrove
Dalam upaya pengelolaan
hutan mangrove, Departemen Kehutanan telah, sedang, dan akan melakukan
kegiatan-kegiatan baik dalam bentuk kegiatan operasional teknis di lapangan
maupun yang bersifat konseptual. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Operasional Teknis Sejak Tahun Anggaran 1994/1995 sampai
dengan Tahun Dinas 2001, kegiatan operasional teknis yang dilaksanakan di
lapangan oleh Balai/Sub Balai RLKT (sekarang bernama Balai Pengelolaan DAS)
sebagai Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan adalah rehabilitasi hutan
mangrove di luar kawasan hutan dan di dalam kawasan hutan seluas 22.699 Ha
melalui bantuan bibit, pembuatan unit percontohan empang parit dan
penanaman/rehab bakau, yang tersebar di 18 Propinsi.
2. Penyusunan Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove
3. Inventarisasi kerusakan hutan mangrove (22 Propinsi)
4. Penyusunan basis data pengelolaan hutan mangrove
5. Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah Pantai Kabupaten
IV.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat
kita simpulkan bahwa alam
memiliki siklus regenerasi yang seimbang. Adanya campur tangan manusia
menyebabkan percepatan kerusakan lingkungan. Terdapat berbagai cara untuk
merehabilitasi lingkungan yang telah rusak, namun dibutuhkan waktu yang sangat
lama untuk mengembalikan lingkungan seperti sedia kala. Selain itu kondisinya
tidak akan lebih baik dibandingkan apa yang dikerjakan alam secara alami.
Contohnya adalah hutan bakau di Indonesia yang hanya dalam
13 tahun luasnya berkurang mencapai 60%. Kondisi ini sangat memprihatinkan
karena hutan bakau memiliki peranan penting bagi ekosistem maupun manusia.
Oleh karena itu sebagai generasi
pewaris bumi kita perlu melestarikan keberadaan hutan bakau untuk kehidupan
manusia yang akan datang. Cara-cara tersebut antara lain dengan menghentikan
segala bentuk aktivitas yang dapat merusak hutan bakau dan melakukan usaha
rehabilitasi.
B. Saran
Untuk melestarikan keberadaan hutan bakau maka penyusun
menyarankan agar masyarakat menghentikan segala bentuk aktivitas yang dapat
merusak hutan bakau dan melakukan usaha rehabilitasi baik untuk mencegah
kerusakan hutan bakau maupun memulihkan kembali kondisi hutan bakau yang telah
rusak. Selain itu pemerintah juga perlu mempertegas undang-undang yang mengatur
tentang perusakan kawasan hutan dan menggalakkan program-program penyelamatan
hutan bakau.
DAFTAR PUSTAKA
Akil, Sjarifuddin. 2002. Kebijakan Kimpraswil Dalam
Rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Makalah Rapat Koordinasi
Nasional Departemen Kelautan dan perikanan Tahun 2002. Jakarta.Nurmalasari, Y.
Analisis Pengelolaan Wilayah Pesisr Berbasis Masyarakat.
Biliana Cincin-Sain dan Robert W. Knecht. 1998.
Integrated Coastal and Ocean Management Concepts dan Practices. Island Press.
Washington, DC..
La, An. 2008. Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Dengan Memenfaatkan Sistem Informasi Geografi dan Data Penginderaan Jarak Jauh
Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2003. Tinjauan
Aspek Penataan Ruang Dalam Pengelolaan Wilayah Laut dan Pesisir. Seminar Umum
Dies Natalis ITS ke-34. Surabaya
Muttaqiena, dkk. 2009. Makalah Pengelolaan Wilayah
Pesisir Secara Berkelanjutan Pasca Tsunami Desember 2004
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996
tentang Perairan Indonesia.
Wiyana, Adi.
2004. Faktor Berpengaruh Terhadap Keberlanjutan Pengelolaan Pesisir Terpadu
(P2T).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar